Hukum Bayi Tabung dalam Islam: Penjelasan Lengkap Berdasarkan Fatwa MUI
Haidar - Bayi tabung atau dalam istilah medis dikenal dengan In Vitro Fertilization (IVF), telah menjadi solusi medis bagi pasangan suami istri (pasutri) yang mengalami kesulitan memiliki keturunan. Baik karena masalah kesuburan, kondisi medis tertentu, atau sebab lainnya, program bayi tabung dianggap sebagai bentuk ikhtiar yang logis.
Namun, pertanyaan penting muncul di kalangan umat Islam: Bagaimana hukum bayi tabung dalam Islam? Apakah hukumnya halal atau haram?
Fatwa MUI tentang Bayi Tabung
Untuk menjawab keraguan tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa resmi sejak 13 Juni 1979 mengenai hukum bayi tabung atau inseminasi buatan. Fatwa ini tetap relevan hingga kini dan menjadi rujukan utama dalam menetapkan hukum syariat terkait program bayi tabung.
Berikut adalah ringkasan fatwa MUI tersebut:
1. Bayi Tabung dari Sperma dan Ovum Suami Istri Sah: Diperbolehkan (Mubah)
Jika proses bayi tabung dilakukan menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah, maka hukumnya mubah (boleh). Ini termasuk bentuk ikhtiar medis yang dibenarkan dalam Islam selama dilakukan sesuai dengan syariat.
Dasar hukum: Kaidah fiqih: al-ashlu fil asyya’ al-ibahah (pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, kecuali ada dalil yang melarang).
2. Embrio Dititipkan ke Rahim Istri Lain: Haram
Jika embrio hasil bayi tabung dititipkan ke rahim perempuan lain, meskipun ia adalah istri kedua dari suami yang sama, maka hukumnya haram.
Alasan: Hal ini dapat menimbulkan kerumitan dalam penetapan nasab (keturunan) dan warisan. Islam sangat menjunjung kejelasan garis keturunan sebagai bagian dari maqashid syariah.
Dasar hukum: Kaidah sadd az-zari’ah, yaitu menutup celah terhadap kemungkinan munculnya kemudharatan.
3.Bayi Tabung dari Sperma Suami yang Sudah Meninggal: Haram
Jika sperma yang digunakan berasal dari suami yang telah wafat, maka proses bayi tabung ini hukumnya haram.
Alasan: Menyimpan dan menggunakan sperma suami yang sudah meninggal akan menimbulkan konflik hukum terkait nasab dan hak waris, serta menimbulkan celah penyimpangan syariat.
4. Bayi Tabung dari Sperma atau Ovum Pihak Ketiga (Donor): Haram
Jika proses bayi tabung melibatkan donor sperma atau ovum dari orang lain yang bukan pasangan sah, maka hal ini dihukumi haram.
Statusnya sama seperti zina, karena menghasilkan keturunan dari hubungan biologis yang tidak sah menurut hukum Islam.
Dasar hukum: Kaidah sadd az-zari’ah, untuk menghindari perzinahan dan campur baur nasab.
Kesimpulan: Bolehkah Bayi Tabung dalam Islam?
Secara ringkas, berikut panduan hukum bayi tabung menurut Islam:
Skenario | Hukum | Keterangan |
---|---|---|
Sperma dan ovum dari suami-istri sah, dan embrio ditanam di rahim istri | ✅ Boleh (Mubah) | Sesuai syariat |
Sperma dan ovum dari suami-istri sah, tetapi ditanam di rahim perempuan lain | ❌ Haram | Menimbulkan kerancuan nasab |
Sperma dari suami yang sudah meninggal dunia | ❌ Haram | Menimbulkan masalah waris dan nasab |
Menggunakan donor sperma/ovum dari pihak lain | ❌ Haram | Sama seperti zina secara biologis |
Penutup: Ikhtiar Harus Tetap Sesuai Syariat
Bayi tabung merupakan solusi medis modern yang sah selama dilakukan sesuai dengan prinsip syariat Islam. Namun, tidak semua praktik bayi tabung diperbolehkan. Oleh karena itu, setiap pasangan muslim yang ingin menjalani program bayi tabung perlu memahami hukum-hukum fikih yang berlaku agar ikhtiar mereka tidak melanggar ajaran Islam.
Posting Komentar untuk "Hukum Bayi Tabung dalam Islam: Penjelasan Lengkap Berdasarkan Fatwa MUI"
Posting Komentar