Biografi KHM. Nawawi Djahari Ceger: Ulama Kharismatik Asal Cibitung Bekasi

Foto KHM. Nawawi Djahari Ceger

Haidar - KHM. Nawawi Djahari merupakan putra dari WKH. Djahari Mintar (atau dikenal juga dengan nama Sakman), dari istri pertama Hj. Darminah binti Sanusi. Beliau dilahirkan di Ceger, Tangerang, pada tanggal 6 Januari 1921.
KHM. Nawawi wafat pada 2 Januari 1998, tepatnya pada hari Jumat pukul 05.00 pagi di Rumah Sakit Karya Medika, Cibitung. Ia wafat sembilan tahun setelah istri pertamanya, Nyai Hj. Rogayah binti Syarah, meninggal dunia pada tahun 1989.
Peran Sebagai Pelanjut dan Mursyid Thariqah
KHM. Nawawi dikenal sebagai penerus Hadrotusyeikh WKH. Djahari Mintar, dan menjabat sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari tahun 1973 hingga 1998. Ia merupakan mursyid ketiga dalam silsilah setelah Syeikh Asnawi Caringin, Labuan, Pandeglang, Banten.
Tanda-Tanda Istimewa Sejak Kecil
Menurut keterangan dari KHM. Abdullatif Djahari dan Hj. Thoyyibah Djahari, sejak kecil Nawawi menunjukkan sifat yang istimewa. Saat prosesi aqiqah dan pemberian nama (gunting rambut), ayahnya melarang bayi Nawawi diletakkan di lantai. Ia tetap dipangku oleh H. Ihsan (penghulu) hingga acara selesai.
Ibu Sita, salah satu pengasuhnya, menceritakan bahwa Nawawi kecil sering bangun tengah malam dan berjalan mengelilingi meja sambil tertawa. Anehnya, meski tampak aktif, matanya tetap terpejam. Sejak kecil pula, Nawawi dikenal tidak rakus makan dan sering mengalah kepada saudara-saudaranya.
Pendidikan dan Kehidupan di Pesantren
Pada usia 10 tahun, Nawawi sudah belajar membaca Al-Qur'an kepada ayah dan kakaknya, seperti KH. Abdullatif Djahari dan KH. Abdul Fatah. Suaranya dikenal merdu dan nyaring.
Saat remaja, Nawawi tinggal di pondok sederhana beratap ilalang, berdinding anyaman bambu, dan diterangi lampu seadanya. Menurut Bapak H. Ramlan dan Bapak Uri, Nawawi rajin bangun tengah malam untuk menghafal pelajaran. Bahkan menurut Bapak Abdulgani, ia sering membangunkan Nawawi untuk salat Subuh, karena ia sangat cinta dengan masjid dan salat berjamaah.
Aktif Mengajar dan Berdakwah
Semangat mengajar tumbuh sejak dini. Setelah belajar kepada orang tuanya, Nawawi segera mengajarkan kembali kepada santri-santri. Setiap hari Senin, seluruh santri mengikuti pengajian umum yang dipimpin langsung oleh ayahnya, WKH. Djahari.
Pada tahun 1937, Nawawi yang berusia 11 tahun, ikut berangkat haji bersama ayah dan ibunya (Nyai Hj. Shofiyah dari Mulotiga), dan belajar langsung selama berada di tanah suci.
Dakwah Keliling dan Aktivitas di Masa Remaja
Antara tahun 1940–1943, Nawawi mulai berdakwah keliling kampung, seperti ke Tanah Ungkuk, Pulogebang, Pisangan Gabus, Pulo Puter, Cironggeng, Kalijambe, dan Ciketing. Ia sering mendampingi ayahnya dalam masa perjuangan kemerdekaan.
Sepulang dari Makkah, Nawawi lebih memilih mendalami ilmu agama di Pesantren Salaf Ceger yang didirikan oleh ayahnya pada tahun 1882 M, daripada melanjutkan studi ke luar daerah.
Kegiatan Fisik dan Seni
Selain ilmu agama, Nawawi juga mempelajari bela diri seperti pencak silat Cimande dan teknik bertanding Ujungan(adu ketangkasan dengan rotan). Ia juga menyukai seni qasidah dan gambus.
Pada tahun 1941, ia ikut bertanding dalam ujungan di berbagai tempat seperti Kp. Telar, Pisang Batu, Utan Salak, dan Bekasi Kota. Salah satu lawannya adalah Bapak Lo’on dari Duren Sawit yang dikenal sebagai “Si Kere” karena bertarung dengan tangan kiri.
Setelah menikah dengan Nyai Hj. Rogayah, Nawawi tidak lagi aktif dalam kegiatan ujungan.
Metode Pengajaran Inovatif
Dalam mengajarkan fiqih, Nawawi menggunakan metode teori dan praktik langsung, seperti Shalat Jumat, Shalat Ied, Shalat Gerhana, dan Shalat Minta Hujan. Praktik-praktik ibadah ini dilakukan di kamar atau pondoknya, dan belum pernah ada sebelumnya di Pesantren Ceger.
Ia bertindak langsung sebagai imam dan khatib, dengan materi khutbah yang berbeda-beda, yang mampu menarik perhatian santri lainnya. Bahkan, ayahnya sendiri (WKH. Djahari) pernah menyaksikan langsung metode pengajaran tersebut.
Pesantren Ceger dan Ancaman Penjajah
Situasi negara saat itu sedang dalam perang kemerdekaan. Pesantren Salaf Ceger menjadi tempat singgah dan berkumpulnya para pejuang muslim. Karena dianggap sebagai pusat perlawanan spiritual dan moral, pondok ini sempat menjadi target ancaman penjajah Belanda, yang bahkan pernah berencana membakar pesantren tersebut.
Posting Komentar untuk "Biografi KHM. Nawawi Djahari Ceger: Ulama Kharismatik Asal Cibitung Bekasi"
Posting Komentar