Menelaah Pancasila dan Netralitas Agama: Perspektif Dr. Adian Husaini

 

Haidar - Hari ini, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, saya ingin kembali membuka diskusi tentang dasar negara kita. Momen ini terasa tepat untuk merenungkan bagaimana Pancasila dipahami, ditafsirkan, dan digunakan dalam kehidupan berbangsa. Inspirasi tulisan ini berasal dari sebuah buku menarik yang saya peroleh pada tahun 2015 di Islamic Book Fair Jakarta, berjudul “Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusi Umat Islam” karya Dr. Adian Husaini.

Dalam buku tersebut, terdapat pertanyaan penting dan mendasar yang sering menjadi bahan perdebatan akademik maupun politik:

Apakah Pancasila Konsep Netral Beragama?

Pertanyaan ini menjadi fokus pembahasan Dr. Adian Husaini. Beliau menyoroti bagaimana sila pertama Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa—ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai kelompok, terutama antara umat Islam dan kalangan Kristen di Indonesia.

Menurutnya, penafsiran yang mengaitkan sila pertama dengan konsep tauhid dalam Islam seringkali mendapat penolakan dari beberapa kelompok yang tidak menginginkan peran Islam terlalu kuat dalam struktur kebangsaan. Penolakan ini bukan hanya bersifat teologis, tetapi juga politis dan historis, dengan berbagai argumentasi yang dibangun untuk mendukung gagasan bahwa Pancasila harus bersifat netral secara agama.

Penolakan Terhadap Penafsiran Berbasis Islam

Dalam bukunya Kontroversi Nama AllahI.J. Satyabudi mengakui bahwa argumen para tokoh Islam dalam sidang BPUPKI sangat kuat dan historis. Namun demikian, Satyabudi tetap menolak kembali pada Piagam Jakarta atau penafsiran sila Ketuhanan yang bersifat lebih Islami.

Ia menegaskan bahwa Indonesia adalah milik semua agama dan kelompok, sehingga tidak boleh ada pemahaman eksklusif terhadap konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Di sinilah muncul gagasan bahwa sila pertama harus diinterpretasikan sebagai konsep yang sangat umum, tidak identik dengan konsep Ketuhanan dalam Islam.

Dr. Adian mencatat bahwa penolakan ini tidak lepas dari upaya untuk:

  • Menetralisasi dominasi Islam dalam penafsiran sejarah nasional

  • Mengarahkan sejarah Indonesia kembali pada fase Hindu atau pra-Hindu (gerakan nativisasi)

  • Atau menarik Indonesia ke arah sekularisme ala kolonial

Dengan kata lain, terdapat usaha untuk mengalihkan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dari konteks tauhid menjadi konsep yang lebih abstrak.

Pancasila Sebagai “Payung Lebar” Menurut Kalangan Kristen

Pandangan menarik datang dari Pendeta Dr. Eka Darmaputera, yang mengutip pemikiran T.B. Simatupang. Menurut Simatupang, Pancasila adalah payung lebar yang dapat menaungi semua pemahaman agama. “Kekaburan” prinsip Pancasila justru dianggap sebagai kekuatan, karena memungkinkan seluruh warga negara menerima dasar negara ini tanpa merasa tersisih.

Eka Darmaputera menegaskan bahwa meskipun Islam merupakan agama mayoritas, Pancasila tidak boleh ditafsirkan berdasarkan salah satu agama saja. Ia menghindari penafsiran yang merujuk pada Tuhan tertentu, termasuk Allah dalam Islam. Karena itu, sila pertama tidak dipahami sebagai “kepercayaan kepada Allah”, tetapi sebagai kepercayaan terhadap ide Ketuhanan yang netral.

T.B. Simatupang menguatkan pandangan ini dengan menegaskan bahwa:

  • Kata "Ketuhanan" dipilih bukan untuk menunjuk Tuhan agama tertentu

  • Sila pertama adalah prinsip abstrak tentang nilai Ketuhanan

  • Pancasila tidak boleh dipersempit ke dalam teologi tertentu

Gagasan ini akhirnya menjadi fondasi pandangan teolog Kristen modern mengenai Pancasila.

Penafsiran Kristen Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa

Salah satu tokoh yang memperkuat pandangan ini adalah Olaf Schumann, teolog Kristen asal Jerman. Ia memandang sila Ketuhanan bukan sebagai entitas teologis spesifik, tetapi sebagai konsep universal tentang Tuhan, yang dapat diisi oleh berbagai agama sesuai pemahaman masing-masing.

Schumann menyatakan bahwa:

  • Sila pertama bukan merujuk pada “Allah” atau Tuhan tertentu

  • Rumusan Ketuhanan memberi ruang bagi agama-agama resmi untuk mengembangkan konsep Tuhan secara otonom

  • Penafsiran abstrak lebih sesuai bagi agama Kristen modern yang telah mengalami proses sekularisasi panjang

Dengan demikian, konsep Ketuhanan dalam Pancasila dilihat sebagai ruang bersama yang netral, bukan sebagai fondasi negara yang bersumber dari nilai-nilai Islam secara khusus.

Perbedaan Sejarah Sekularisasi dalam Kristen dan Islam

Menurut Dr. Adian Husaini, ketidaklogisan terjadi ketika kelompok Kristen menolak penafsiran Islam atas sila Ketuhanan, tetapi di sisi lain mendorong penafsiran sekuler terhadap Pancasila dan berharap umat Islam menerimanya.

Ia menegaskan bahwa sekularisasi adalah proses sejarah khas yang dialami oleh kekristenan di Barat, bukan oleh Islam. Penjelasan dari beberapa tokoh memperkuat posisi ini:

1. Bernard Lewis

Sejarawan besar ini menyatakan bahwa umat Islam tidak pernah mengembangkan gerakan sekular karena:

  • Sejarah umat Islam tidak mengalami pertentangan gereja-negara seperti Kristen

  • Tidak ada dominasi gereja terhadap kehidupan politik

  • Struktur teologi Islam tidak mendorong sekularisme

2. Arend Theodor van Leeuwen

Ia melihat bahwa:

  • Sekularisme modern adalah “anak kandung” peradaban Kristen Eropa

  • Ketika Kristen menyebar, sekularisme ikut menyebar

  • Dunia non-Kristen menerima sekularisme bukan karena sejarahnya, tetapi karena pengaruh kolonialis Barat

Karena itu, memaksakan sekularisme ke umat Islam berarti memaksakan konsep asing yang tidak memiliki akar dalam sejarah Islam sendiri.

Ketidaklogisan Memaksakan Sekularisasi kepada Umat Islam

Dr. Adian Husaini menegaskan bahwa usaha untuk mensekulerkan umat Islam pasti gagal. Hal ini karena:

  • Islam adalah agama wahyu dengan sistem hidup lengkap

  • Islam memiliki konsep tauhid yang tegas

  • Umat Islam menjalankan kehidupan sesuai Al-Qur’an dan Sunnah

  • Islam tidak mengenal dikotomi antara agama dan politik

  • Dalam Islam, syariat mengatur seluruh aspek kehidupan

Islam memiliki:

  • Tuhan Yang Esa

  • Kitab suci yang otentik

  • Ajaran ibadah yang baku

  • Kiblat yang satu

  • Teladan hidup dalam diri Nabi Muhammad SAW

Umat Islam sangat menghormati Rasulullah, namun tidak pernah menaikkan beliau ke derajat ketuhanan. Hal ini justru menjadikan Islam tetap terjaga dari penyimpangan teologis sekaligus relevan dalam praktik kehidupan sosial dan politik.

Kesimpulan: Pancasila, Netralitas, dan Identitas Keislaman

Dari analisis Dr. Adian Husaini, dapat disimpulkan bahwa:

  • Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa tidak bisa dilepaskan dari konteks kuatnya pengaruh Islam dalam sejarah Indonesia

  • Upaya menafsirkan Pancasila secara sekuler adalah bentuk pemaksaan ideologis

  • Umumnya teolog Kristen mendorong penafsiran abstrak dan netral, sementara umat Islam memandang sila pertama sebagai konsep tauhid

  • Sekularisme hanyalah produk sejarah Kekristenan Barat, bukan sejarah Islam

  • Memaksakan sekularisme pada umat Islam tidak logis dan tidak akan berhasil

Kekuatan Islam sebagai agama wahyu membuatnya memiliki struktur ajaran yang kokoh, sistematis, dan menyeluruh. Karena itu, cara pandang terhadap Pancasila pun tidak bisa dilepaskan dari akar peradaban Islam yang menjadi bagian penting dari identitas bangsa Indonesia.

Posting Komentar untuk "Menelaah Pancasila dan Netralitas Agama: Perspektif Dr. Adian Husaini"