Membedah Makna "Kalam": Diskursus Al-Qur'an Kalam Allah atau Kalam Nabi?
Haidar - Pada hari Selasa, 25 Juni 2024, Universitas PTIQ Jakarta menyelenggarakan seminar internasional yang menarik perhatian dengan tema: "Al-Qur'an Kalam Allah atau Kalam Nabi?". Acara tersebut menghadirkan narasumber kompeten di bidangnya, yaitu Muhammad Nuruddin, Lc., Ma. dan Prof. Mun'im Sirry.
Dalam seminar tersebut, terjadi perdebatan yang cukup signifikan. Sidi Nuruddin berpendapat tegas bahwa Al-Qur'an adalah "Kalam Allah" (Firman Allah), sementara Prof. Mun'im Sirry menyampaikan pandangan bahwa Al-Qur'an adalah "Kalam Nabi" (Perkataan Nabi).
Sebagai seorang akademisi di bidang agama Islam, tema ini bukanlah hal baru bagi saya. Diskusi seputar status Al-Qur'an seringkali menjadi topik yang menarik untuk diulas. Dan memang, bahasan ini selalu memikat, hingga saya pun tak pernah bosan untuk mengkajinya kembali.
Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membahas secara mendalam mengenai apakah Al-Qur'an itu Kalam Allah atau Kalam Nabi. Fokus saya lebih tertuju pada kata kunci yang menjadi inti perdebatan itu sendiri, yakni "Kalam".
Memahami Arti Kata "Kalam" dalam Bahasa Arab
Lantas, apa sebenarnya arti dari "Kalam"?
Secara umum, dalam bahasa Arab, "Kalam" (الكلام) memiliki arti "ucapan", "kata", atau "perkataan".
Lebih lanjut, Mufid AR dalam bukunya "Mudahnya Belajar Bahasa Arab Untuk Pemula" menjelaskan dalam bab tentang Kalam bahwa:
"Kalam (الكلام) atau dalam bahasa Indonesia disebut Kalimat adalah, rangkaian kata yang sempurna, memiliki arti, dapat dipahami, dan dapat diucapkan dalam keadaan sadar atau disengaja."
Kutipan Syair Al-Akhtal tentang Hakikat Kalam
Sidi Nuruddin dalam presentasinya juga sempat mengutip syair dari Al-Akhtal mengenai hakikat kalam:
إن الكلام لفي الفؤاد وإنما جعل اللسان على الفؤاد دليلا
Yang artinya:
"Sesungguhnya kata-kata itu letaknya di dalam hati, adapun lisan itu hanyalah bukti dari apa yang ada dalam hati."
Menurut Sidi Nuruddin, esensi dari sebuah kalam terletak pada maknanya, bukan sekadar pada lafadz (ucapan)nya.
Definisi Kalam Menurut Kitab Syarah Jurumiyah
Untuk memperdalam pemahaman tentang "Kalam", saya kemudian merujuk pada kitab klasik شرح الآجرومية (Syarah Jurumiyah) yang disusun oleh Syaikh Muhammad Shalih Utsaimin.
Beliau memulai pembahasan tentang pengertian Kalam (تعريف الكلام) di bab pertama kitabnya:
Penulis memulai dengan kalam, karena nahwu (tata bahasa) adalah untuk membangun kalam. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh mempelajari nahwu tanpa memahami apa itu kalam.
Definisi Kalam Menurut Ahli Nahwu
Penanya bertanya, "Apa itu kalam?"
Penulis menjawab, (Kalam adalah kata yang tersusun yang diletakkan kepada makna yang bermanfaat)
Syaikh Utsaimin kemudian menjabarkan definisi ini lebih lanjut:
- Lafaz (اللفظ): Kalam adalah kata yang diucapkan oleh mulut. Beliau membedakannya dengan tulisan dan isyarat, yang menurut ahli nahwu bukanlah termasuk kategori kata (lafaz).
- Murakkab (المركب): Kalam harus tersusun dari dua kata atau lebih, baik secara nyata (seperti "Zaid berdiri") maupun secara perkiraan (seperti kata perintah "Berdirilah" yang mengandung dhamir mustatir/kata ganti tersembunyi).
- Mufid (المفيد): Kalam harus memberikan makna yang bermanfaat bagi pendengar sehingga tidak menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Contoh yang beliau berikan adalah "Siswa itu berhasil."
- Wadh'un (الوضع): Kalam harus diucapkan secara sengaja dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Ucapan orang mabuk, gila, tidur, atau mengigau tidak termasuk kalam menurut definisi ini.
Implikasi Definisi Kalam Terhadap Status Al-Qur'an
Definisi "Kalam" dalam ilmu Nahwu ini menarik jika dikaitkan dengan perdebatan mengenai Al-Qur'an. Salah satu syarat "Kalam" adalah "diletakkan" (الوضع) dengan sengaja oleh pembicara.
Dalam konteks penerimaan wahyu, kita merujuk pada kitab Syakhshiyah Ar-Rasul (Muhammad Rawwas Qal'ah Ji, 2008) yang menggambarkan kondisi Nabi Muhammad SAW saat menerima wahyu. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak secara sengaja mengeluarkan atau "meletakkan" kalam tersebut, melainkan ada pihak lain yang menghendakinya, yaitu Allah SWT.
Hal ini menjadi salah satu argumen yang mendukung pandangan bahwa Al-Qur'an adalah Kalam Allah.
Penutup
Demikianlah pemahaman mengenai arti "Kalam" berdasarkan kitab Syarah Jurumiyah yang ditulis oleh Syaikh Abu 'Abdullah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Sulaiman bin Abdur Rahman Al-'Utsaimin At-Tamimidalam mensyarah kitab matan karya Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji alias Ibnu Ajurrum.
Semoga ulasan ini bermanfaat untuk menambah wawasan kita mengenai konsep "Kalam" dalam khazanah keilmuan Islam.
Posting Komentar untuk "Membedah Makna "Kalam": Diskursus Al-Qur'an Kalam Allah atau Kalam Nabi?"
Posting Komentar