Memahami Falsifikasi: Konsep Karl Popper dan Relevansinya dalam Pemikiran Islam
Haidar - Falsifikasi adalah konsep sentral dalam epistemologi yang diperkenalkan oleh filsuf Karl Raymund Popper.
Menurut Popper, suatu teori atau pengetahuan ilmiah harus memiliki kemampuan untuk diuji kesalahannya. Artinya, jika sebuah teori tidak dapat dibuktikan kesalahannya (difalsifikasi), maka ia tidak dapat dikategorikan sebagai ilmu ilmiah sejati.
Prinsip ini menekankan pentingnya keterbukaan terhadap kritik dan pengujian berkelanjutan dalam proses ilmiah.
Menariknya, meskipun istilah "falsifikasi" berasal dari tradisi filsafat Barat, semangat untuk menguji kebenaran juga resonan dalam ajaran Islam. Konsep-konsep seperti tabayyun (klarifikasi), ijtihad (usaha intelektual), dan taqlid (mengikuti tanpa dasar) menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk tidak menerima informasi secara membabi buta, melainkan melalui pertimbangan dan verifikasi yang cermat.
Ini menunjukkan keselarasan dalam mencari kebenaran, meskipun dengan pendekatan yang berbeda.
Riwayat Hidup Karl Raymund Popper dan Perkembangan Pemikirannya
Karl Raimund Popper lahir di Wina, Austria pada tahun 1902 dari orang tua keturunan Yahudi yang kemudian dibaptis Protestan . Di usia 17 tahun, Popper sempat menganut komunisme, namun kemudian meninggalkannya karena mengkritik pengikutnya yang tidak kritis.
Pendidikan Popper di Universitas Wina mencakup berbagai bidang seperti kesusastraan, sejarah, filsafat, kedokteran, dan psikologi.
Ia meraih gelar doktor filsafat pada tahun 1928 dan mulai mengajar di Inggris pada tahun 1935-1936. Akibat totaliterisme Hitler, pada tahun 1937 Popper pindah ke Selandia Baru dan wafat pada usia 92 tahun di tahun 1994.
Tahun 1919 menjadi titik balik intelektual Popper. Ia sangat terkesan dengan tumbangnya teori Newton oleh pemikiran baru Einstein.
Einstein menyatakan bahwa teorinya tidak akan bertahan jika gagal dalam tes tertentu. Ini sangat kontras dengan kaum Marxis yang dogmatis dan cenderung selalu mencari pembenaran. Dari peristiwa ini, Popper menyadari bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran, melainkan melakukan pengujian untuk menyangkal teori yang ada.
Teori Falsifikasi Karl Raymund Popper: Dinamika Ilmu Pengetahuan
Ilmu dan filsafat memiliki hubungan timbal balik yang erat. Filsafat berperan penting dalam melahirkan ilmu pengetahuan, dan perkembangan ilmu juga memperkuat kebenaran filsafat. Perubahan pola pikir masyarakat Yunani dari mitosentris (menjelaskan fenomena alam dengan mitos, seperti gempa bumi akibat dewa bumi) menjadi logisentris (menjelaskan fenomena alam secara ilmiah berdasarkan kausalitas) adalah contoh besar pengaruh filsafat.
Seiring perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, teori pengetahuan pun ikut berkembang. Teori masa lalu berpotensi digagalkan oleh teori berikutnya. Pengetahuan bersifat dinamis dan akan selalu berkembang. Karl Raimund Popper, sebagai salah satu filsuf modern-kontemporer terkemuka, memberikan kontribusi besar dalam mereformulasi logika. Popper ingin agar pengetahuan terus berkembang dan progres, oleh karena itu ia menciptakan mekanisme konseptual yang dikenal sebagai falsifikasi.
Habibah (2019:317) menyatakan bahwa "perkembangan pengetahuan dekat dengan rasionalitas, namun dibalik itu semua sebuah rasionalitas tidak dapat menjamin pengembangan ilmu pengetahuan tanpa adanya sebuah kritikan." Di sinilah kritik rasionalisme Popper menemukan relevansinya. Kritik mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, menggugat pengetahuan yang stagnan, dan memaksanya untuk maju serta meluaskan jangkauan risetnya.
Falsifikasi adalah cara pandang terhadap sesuatu berdasarkan sisi kesalahannya. Jika suatu teori dianggap salah, berbagai upaya dilakukan untuk membuktikan kesalahannya, hingga akhirnya teori baru dibuat untuk menggantikannya. Popper membuktikan bahwa falsifikasi (membuktikan kesalahan) bertolak belakang dengan konsep verifikasi (pembuktian kebenaran).
Suatu teori yang tidak pernah terbukti salah akan mengalami penguatan (koroborasi), namun tetap dapat dijatuhkan jika ditemukan satu data yang menyangkalnya. Popper memandang ilmu dari dua sisi: kriteria pemisah antara ilmu dan metafisika, serta deskripsi hakikat metodologi ilmiah. Metode ilmiah, menurut Popper, adalah rancangan dari teori-teori atau praduga (conjectures) dan penolakan-penolakan (refutations) teori tersebut.
Menurut Subekti (2015:40), konsep falsifiabilitas yang diajukan Popper adalah cara untuk membedakan teori ilmiah asli (genuine scientific theories) dari teori ilmiah semu (pseudoscience). Filsafatnya disebut "Rasionalisme Kritis". Inti pemikiran Popper adalah asimetri logis (logical asymmetry) antara verifikasi dan falsifiabilitas. Ini yang menginspirasinya mengambil falsifiabilitas sebagai kriteria demarkasi: "satu teori harus dipandang ilmiah jika, dan hanya jika, ia dapat difalsifikasi." Falsifikasi adalah upaya mencari data tandingan melalui eksperimen ilmiah, yang merupakan inti dari "prinsip falsifiabilitas".
Popper berpendapat bahwa suatu hal yang pasti dan tidak dapat disanggah tidak bersifat ilmiah (Saepullah, 2020:60-71). Ia merumuskan langkah-langkah untuk menguji sebuah teori:
- a) Perbandingan Logis: Membandingkan teori secara logis dan ilmiah untuk mengetahui konsistensi internalnya.
- b) Penyelidikan Validitas: Menyelidiki validitas teori dengan logika berpikir untuk mengetahui ciri empiris atau ilmiahnya.
- c) Perbandingan Antar Teori: Membandingkan satu teori dengan yang lain untuk mengetahui ketahanan uji.
- d) Penerapan Empiris: Langkah terakhir setelah semua tahapan sebelumnya diterapkan.
Tahapan ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana konsekuensi baru teori dapat bertahan terhadap tuntutan praktis, baik dari eksperimen ilmiah maupun penerapan teknologi. Jika pengujian berhasil, sebuah kesimpulan tunggal (acceptable) atau terbukti (verified) akan didapatkan, dan teori tersebut dapat dikatakan lolos untuk sementara waktu. Namun, jika kesimpulan tersebut dapat difalsifikasi, maka falsifikasi tersebut juga memfalsifikasi teori asalnya.
Falsifikasi vs. Verifikasi: Memperkuat Kebenaran Teori
Falsifikasi Popper adalah teori penyangkalan atas pembenaran dari verifikasi terhadap suatu keilmuan atau teori. Singkatnya, falsifikasi merupakan kebalikan dari verifikasi. Popper menyatakan bahwa suatu teori tidak mutlak kebenarannya hanya jika dapat diverifikasi, namun akan semakin kuat dan kokoh jika mampu bertahan dari penyangkalan (falsifikasi). Menurut Ulum (2020:75), "Popper berpendapat bahwa tidak ada yang namanya verifikasi, yang dapat diakui keabsahannya hanyalah falsifikasi, artinya pencarian fakta yang memastikan bahwa sebuah hipotesis tidak dapat dipertahankan."
Popper menolak cara kerja metode induksi yang berawal dari observasi. Observasi, baginya, hanya menjustifikasi diri atas pengulangan pengamatan untuk memperkuat bukti teori. Frederick (2020:494–503) menambahkan bahwa jika ada pandangan berbeda, induksi cenderung menganggapnya tidak bermakna. Bagi Karl Popper, metode ilmiah harus melibatkan proses pengujian berulang dengan mencari peristiwa yang melemahkan pembuktian awal.
Komarudin (2016:444-465) menjelaskan bahwa proses induksi menjadikan teori umum sebagai dasar deduksi terhadap setiap kejadian, sehingga setiap kejadian dapat diprediksi. Karl Popper kemudian mengajukan metode alternatif yang disebut falsifikasi.
Berdasarkan siklus falsifikasi, kritik terhadap teori dan ilmu pengetahuan adalah sebuah keniscayaan. Para ilmuwan perlu tidak menghindari falsifikasi terhadap teori dan konsep yang mereka ciptakan. Habibah (2019:303-318) menjelaskan bahwa "falsifikasi tidak bermaksud untuk menghancurkan apa yang sudah ada, hanya saja sebagai upaya untuk meningkatkan hal-hal yang perlu diperbaiki, serta memperkuat teori yang ada tersebut."
Falsifikasi dalam Sejarah Islam: Studi Kasus Al-Qur'an dan Imam Al-Ghazali
Menariknya, konsep falsifikasi yang dipopulerkan oleh Karl Popper ini sebenarnya telah ada jauh sebelum teori tersebut lahir dalam pemikiran Barat. Dalam sejarah Islam, konsep falsifikasi telah diterapkan dalam keilmuan Islam sejak lama.
Contoh paling jelas adalah pada zaman Nabi Muhammad SAW dengan tantangan untuk menguji Al-Qur'an. Tantangan Allah yang turun berupa wahyu (QS. Huud: 13) memerintahkan kaum kafir untuk membuat sepuluh surat yang serupa dengan Al-Qur'an. Ini adalah bentuk falsifikasi di mana kebenaran Al-Qur'an diuji dengan upaya penyangkalan.
QS. Huud: 13 ْ أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ "Bahkan mereka mengatakan: 'Muhammad telah membuat-buat Al-Qur'an itu.' Katakanlah: '(Kalau demikian), maka
Tantangan ini (Harahap, dkk, 2013:166) membuktikan bahwa tidak ada seorang pun dari kaum kafir yang mampu melakukannya. Semakin mereka berusaha menjatuhkan Al-Qur'an, semakin kuat pula kebenaran yang mereka dapatkan. Peristiwa ini selaras dengan konsep falsifikasi Popper: "semakin kuat suatu teori diuji, maka semakin kokohlah kebenarannya."
1 komentar untuk "Memahami Falsifikasi: Konsep Karl Popper dan Relevansinya dalam Pemikiran Islam"